PERANAN SEKS SEBAGAI KEPERLUAN FISIK DAN KENYAMANAN HIDUP

A.  Simbol Seksologi Jawa
Simbol seksologi Jawa banyak tertuang dalam simbol simbol kehidupan nyata, namun hal itu hanya dapat dimengerti oleh jalma limpat (orang yang kritis terhadap tanda-tanda alam). Tidak sembarang orang mengetahui tafsiran makna lambang seksual yang kadang tersembunyi. Simbolisasi seksual tampak jelas pada penamaan judul Suluk Sujinah yang merupakan nama salah satu tokoh dalam teks itu, yang merupakan sesuatu yang dapat diinterprestasikan secara erotis. Kata Sujinah berasal dari dua kata, yaitu su ‘indah, baik, lebih’ dan jinah ‘perbuatan syahwat’. Jadi, Sujinah dapat diartikan secara bebas sebagai ‘perbuatan syahwat atau persetubuhan yang baik dan indah yang mempunyai nilai lebih’. Nama ini pun mengindikasikan gairah seksual yang terdapat di dalam diri si tokoh.
Nama-nama tokoh wanita dalam suluk Gatholco juga merupakan gambaran simbol seksual Jawa. Nama-nama yang secara tidak langsung akan membangkitkan birahi, terutama bagi laki- laki. Nama seperti Endang Retna Dewi Lupitwati, Dewi Mlenuk Gembuk, Dewi Dudulmendut, Dewi Rara Bawuk, dan Dewi Bleweh secara asosiatif merujuk pada alat kelamin wanita. Secara etimologis lupitwati berasal dari dua suku kata lupit ‘sempit’ dan wati ‘sanggama atau bersetubuh’. Jadi, lupitwati dapat diterjemahkan secara bebas sebagai alat bersenggama yang sempit, yang tidak lain mengacu pada alat kelamin wanita.
Nama tokoh Dewi Mlenuk Gembuk juga mengacu pada alat kelamin wanita. Di samping didahului oleh nama depan Dewi (dewa wanita), mlenuk mempunyai arti ‘sesuatu atau barang yang menonjol agak besar’, dan gembuk berarti ‘empuk’. Jadi, mlenuk gembuk dapat diartikan secara bebas sebagai sesuatu atau barang yang agak menonjol dan empuk.
Perlambangan seksual juga terwujud dalam nama- nama tembang macapat. Sekar mijil, misalnya, terdiri dari mijil kingkin (simbol laki- laki dan wanita mulai tergoda), mijil wedharingyas (keduanya mulai mencurahkan isi hati), mijil raramanglong (laki- laki dan wanita sampai tahap menyerahkan diri secara total) yang pada gilirannya akan melahirkan anak sinom. Anak ini juga akan sampai pada tingkatan sekar asmaradana: asmaradana bawaraga (kehidupan anak-anak biasanya susah jika tidak terpenuhi kebutuhannya), asmaradana panglipur (anak-anak membutuhkan hiburan), asmaradana kedhaton (pada masa remaja, hidup dipenuhi keindahan dalam nuansa kisah asmara), asmaradana slobog (saat akil-baliq, mereka ingin memadu kasih, berhubungan seksual yang sah). Apabila telah mantap, barulah mencapai kinanthi: kinanthi mangu (perasaan ragu-ragu melaksanakan hubungan seks karena baru pertama kali (malam pertama)), kinanthi sekargadhing (mulai berani mendambakan kekasih serta berhubungan seks), kinanthi kasilir (pasangan telah menyatu, ada keseimbangan, kesenangan, dan kecocokan), kinanthi pantiasri (pasangan masuk ke pelaminan, penuh gairah), kinanthi sirep lare (waktu malam, waktu yang tepat untuk melakukan hubungan seks).
Demkian nama- nama tembang macapat juga merupakan simbol proses hubungan seks. Hubungan seks tersebut sangat beradab dan sangat empan papan. Selain itu hubungan seks juga memerlukan langkah- langkah agar kedua belah pihak dapat merasa puas.

B.  Seks Dalam Falsafah Hidup
Dalam masyarakat Jawa masih menjunjung ungkapan wong Jawa nggone semu ‘manusia Jawa pandai menciptakan ungkapan tersamar’; maka, sikap manusia seyogyanya selalu diselubungi kehati-hatian, bahkan sampai memuncak pada tingkat ungkapan pencegahan ora ilok ‘tidak etis’. Semua hal yang bernada seks selalu diungkap dengan lambang- lambang khas yang bermuara tuntutan kemampuan indera dan naluri pemerhati seks.
Damarjati Supadjar, ketika membeberkan Seksologi dalam Pandangan Hidup (1997), mengetengahkan berbagai rumusan khusus tentang seks bagi orang Jawa. Menurutnya, selama ini, orang Jawa masih sering memandang ihwal seks secara dangkal; padahal seks menurut pandangan hidup Jawa merupakan tugas mulia yang hilirnya memiliki dimensi surgawi. Pada hakikatnya seks terkait dengan ungkapan sarira tunggal. Ungkapan ini jika dibaca sarira satunggal, akan bermakna bersetubuh; sedangkan bila dibaca sari rasatunggal, akan bermakna persenyawaan. Makna tersebut mungkin terilhami sengkalan memet (sistem penanggalan) di keraton Yogyakarta yang berbunyi dwi naga rasa tunggal. Dalam kaitan ini seksologi Jawa terkait dengan hal- hal yang suci, yakni sangkan paraning dumadi ‘awal dan akhir kehidupan’. Hubungan seks tidak sekedar hubungan badan, namun juga sejiwa-senyawa sepenuhnya, yang dalam hal ini hanya akan dapat dirasakan oleh orang yang “tahu”. Hubungan seks merupakan persoalan rasa jero (batiniah), bukan rasa jaba (lahiriah).
Jumlah dan bentuk aksara Jawa juga dapat ditafsirkan sebagai falsafah seksual. Aksara Jawa yang terdiri dari empat kalimat, merupakan kiblat orang bersenggama. Hal tersebut terletak pada mata kedua pelaku persenggamaan. Tiap kalimat terdiri dari lima aksara, merupakan lambang pancadriya ‘panca indera’ manusia. Kedua hal ini akan menjadi kunci dalam mencapai rasa sejati.
Lambang seks demikian akan tampak pada sikap “aktif-pasif” orang Jawa. Konsep aktif-pasif akan menimbulkan kata baru dari kata ‘aku’ sebagai akibat adanya proses seks, timbul dari sikap ng-aku (ayah-ibu), dilanjutkan m-aku (ayah bersenggama dengan ibu) lalu ada ‘aku’ atau ada kelahiran. Pada konteks seks semacam itu, seksologi Jawa meletakkan seks sebagai pengalaman suci dan rohani yang tinggi. Dalam hal ini wanita semestinya menjadi “wanita” (per-empu-an), yaitu wanita yang memiliki pulau (empu laut), memiliki lautan luas. Karena itu tugas laki- laki yang mendarat dipulau untuk kemudian melaut lagi.

C.  Seks dalam Konteks Manunggaling Kawula-Gusti
Dalam sebuah Suluk Saloka Jiwa, R. Ranggawarsita mengumpamakan Tuhan sebagai sesotya ‘permata’ dan manusia sebagai embanan ‘wadahnya’. Kesatuan Tuhan dengan manusia diibaratkan seperti halnya sesotya manjing embanan, ing batin amengku lair ‘permata masuk ke dalam wadahnya, dimensi batin menguasai lahir’. Tuhan immanent dalam diri kawula, tetapi juga meliputi sang kawula, bahkan alam, manusia, dan Tuhan “tunggal” adanya. Hubungan antara sesotya dan embanan sekaligus juga mencerminkan hubungan laki-laki-perempuan: keduanya sedikit berbeda, namun hakikatnya satu.
Tujuan hidup manusia adalah bersatu dengan Tuhan. Persatuan kawula-Gusti dapat dilakukan di dunia dengan jalan manekung ‘semadi’. Jika mampu manunggal, manusia akan ‘sakti’: apa yang dikehendaki dan dikatakan akan terjadi seketika. Namun hal ini tetap atas izin Tuhan, bukan kosong atau awang-uwung, dan bukan manusia itu sendiri. Tuhan tetap Tuhan dan manusia tetaplah manusia.
Manunggaling kawula-Gusti merupakan sebuah pengalaman, bukan ajaran; suatu pengalaman yang benar-benar nyata, tak terbatas bagi yang pernah mengalaminya. Pengalaman yang bernuansa mistik kejawen ini dalam kaitannya dengan seks sering diumpamakan sebagai curiga manjing warangka, warangka manjing curiga. Perumpamaan ini merupakan gambaran perpaduan (pamoring kawula-Gusti, lor-loroning atunggal, jumbuhing kawula-Gusti) yang sulit dipisahkan.
Ajaran yang berkaitan dengan seksualitas atau hubungan suami-istri merupakan lambang persatuan kawula atau hamba dengan Tuhannya terdapat pada sastra suluk. Bait ke-8 pupuh II Suluk Sujinah terdapat ungkapan mapan ta wujud tunggal, luluh gusti kawuleku ‘menjadilah wujud tunggal, luluh antara Gusti dan hamba’. Maksud ungkapan tersebut adalah persetubuhan sebagai perasaan mulia yang nyata dan sebagai perantaraan kasih sayang Tuhan yang menjadi dasar konsep manunggaling kawula-Gusti; atau dengan kata lain, kenikmatan bersenggama antara pria dan wanita (suami-istri) merupakan lambang kenikmatan persatuan manusia dengan Tuhan melalui jalan tasawuf.


Daftar Pustaka
Endraswara, Suwardi. 2013. Seksologi Jawa. Jakarta: Wedatama Widya Sastra

Comments