Variasi Masyarakat Tutur Jawa

Dalam kehidupan kita, bahasa dan masyarakat seperti dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan, tidak mungkin ada masyarakat tanpa bahasa dan tidak mungkin pula ada bahasa tanpa masyarakat. Bahasa mengenai masyarakat tutur sebenarnya sangat beragam antara satu dengan yang lainnya terkadang agak sukar untuk dipertemukan. Bloomfield (1933:29) membatasi dengan “sekelompok orang yang menggunakan system isyarat yang sama”. Batasan Bloomfield dianggap sangat sempit oleh para ahli sosiologi, karena dalam masyarakat modern banyak orang yang menguasai lebih dari satu bahasa, dan di dalam masyarakat itu sendiri bisa jadi ada lebih dari satu bahasa. Sebaliknya batasan yang diberikan oleh Labov (1972:158) “satu kelompok orang yang mempunyai norma yang sama mengenai bahasa”, dianggap terlalu luas dan terbuka.
Masyarakat tutur yang besar dan beragam memperoleh bahasa ibu dari pengalaman atau dari adanya interaksi verbal langsung di dalam kegiatan tertentu. Mungkin juga diperoleh secara refensial yang diperkuat dengan adanya integrasi simbolik, seperti integrasi dalam sebuah tempat seperti, Negara, bangsa, dan daerah. Jadi mungkin saja dalam wadah Negara, bangsa, dan daerah dapat membentuk suatu masyarakat tutur  dalam pengetian simbolik itu. Dalam hal ini tentu saja yang disebut bahasa nasional dan bahasa daerah mewakili masyarakat tutur tertentu dalam hubungannya dengan variasi kebahasaan.
Language use is determined not only by linguistic factors but also by nonlinguistic factors, i.e. social and situational factors. This study focuses on the variation pattern of Javanese as the expression of different social factors. Variation of Javanese language in Central Java might happen in various aspects, i.e. honology, lexicon, pengkramaan symptom, pengokoan symptom, and morphemic process. Such social factors as education, age, and occupation have an effect on the realization of Javanese language. (http://jurnal.ugm.ac.id/jurnal-humaniora/article/view/1001)
Dalam masyarakat Jawa terdapat tingkat tutur bahasa, Kuntjaraningrat (1976:245) membagi masyarakat Jawa atas empat tingkat (1) wong cilik, (2) wong saudagar, (3) priyayi, dan (4) ndara. Namun Clifford Geertz (dalam Pride dan Holmes (ed.) 1976) membagi masyarakat Jawa menjadi tiga tingkat yaitu, (1) priyayi, (2) bukan priyayi tetapi berpendidikan dan bertempat tinggal dikota, (3) petani dan orang yang tidak berpendidikan. Dari kedua penggolongan tersebut terlihat adanya perbedaan tingkatan dalam masyarakat tutur bahasa Jawa. Berdasarkan tingkat-tingkatan itu, maka dalam masyarakat Jawa terdapat berbagai variasi bahasa yang digunakan sesuai dengan tingkat sosialnya.

Perbedaan variasi bahasa dapat juga terjadi apabila yang terlibat dalam tuturan itu mempunyai tingkat sosial yang berbeda.Variasi bahasa yang penggunaannya didasarkan pada tingkat-tingkat sosial ini dikenal dalam bahasa Jawa dengan istilah Undha Usuk. Adanya tingkat-tingkat bahasa yang disebut Undha Usuk ini menyebabkan penutur dari masyarakat tutur bahasa Jawa tersebut untuk mengetahui lebih dahulu kedudukan tingkat sosialnya terhadap lawan bicara. Jadi bahasa atau ragam bahasa yang digunakan di kalangan wong cilik tidak sama dengan wong saudagar, dan lain pula dari bahasa yang digunakan para priyayi. 
Variasi bahasa yang digunakan oleh orang-orang yang berbeda tingkat sosialnya termasuk variasi dialek sosial, lazim juga disebut sosiolek (Nababan 1984). Poedjosoedarmo (1981) menyatakan bahwa variasi adalah bentuk-bentuk bagian atau varian bahasa yang masing-masing memiliki pola-pola umum bahasa induknya. Dialek merupakan suatu varian bahasa yang memiliki bentuk dan pilihan kata yang khas. Kekhasan ini disebabkan oleh latar belakang para penuturnya. Karena itu, pembeda dialek yang satu dengan yang lain adalah latar belakang dan daerah asal kelompok penutur. 
Fungsi bahasa dipertegas oleh Dell Hymes (1972) yang menyatakan bahwa setiap peristiwa tutur dapat dipahami maksudnya dengan benar apabila penutur memperhatikan komponen tutur yang diakronimkan dengan SPEAKING (setting, participant, ends, act sequences, keys, instrumentatilities, norms, dan genre). Dalam masyarakat Jawa ada beberapa variasi bahasa, hal tersebut terjadi akibat faktor alam, waktu, dan lingkungan. Seperti variasi bahasa Banyuwangi-Jawa Timur ada variasi bahasa osing, kemudian bahasa Madura juga dan lain sebagainya. 
Jadi dalam bahasa Jawa terdapat beberapa variasi bahasa menurut tingkat sosial penuturnya. Dari wong cilik, saudagar, priyayi dan ndara. Dalam budaya jawa juga sangat memperhatikan tindak tutur dan unggah ungguh terhadap lawan bicaranya, misalnya, apabila anak berbicara kepada bapak atau orang yang lebih tua usianya akan menggunakan bahasa Jawa krama dan sebalknya bapak akan menggunakan bahasa ngoko kepada anaknya. semoga bermanfaat :) 
 sumber: 
Chaer Abdul, Agustina leoni, SOSIOLINGUISTIK Perkenalan Awal, Jakarta: PT Rineka                              Cipta 2004.
           Nababan, P.W.J, 1984, Sosiolinguistik: Suatu Pengantar, Jakarta Gramedia.

Comments